“Kalau
kita tidak kerja mana bisa makan”, kalimat ini sering sekali saya dengar dari
kawan kawan saya yang bekerja di perusahaan, seperti si Somad yang bekerja
menjadi IT di perusahaan bonafid di daerah cilegon. sebenarnya ia cukup
memperhatikan saya dalam hal makan memakan yang memang bermasalah. Ya sudahlah
biarkan saja, bukannya kekasih Tuhan saja sering sering ia tidak menemukan
makanan dalam tiga hari, jadi kalau memang demikian, hitung hitung merasakan
penderitannya kanjeng Nabi saja.
Dinegara
ini tidak ada yang bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya, tidak ada yang
melindungi diri kita kalau bukan dirikita sendiri, kalau bukan kita sendiri
yang mulung lantas siapa dong yang mau memenuhi kebutuhan sehari hari? Mana
mungkin Tuhan mengirimkan makanan, kalau kita tidak berusaha mencarinya?
Uang
saat ini sudah menjadi tuhan yang dinomer satukan, orientasi
utamanya adalah kesuksesan dibidang strata sosial, baik dari pamoritas, jumlah
nominal yang ada direkening, aset tidak berjalan dan lain sebagainya, cara
orang ber uang dan orang yang kantongnya
bolong sangat berbeda sekali karakter berbicarnya, orang yang memliki kantong
tebal akan menjadi bak sang raja, orang
yang bolong kantongnya bak rakyat jelata, bahkan hukum
bisa dijual balikan menjadi sekarep’e karena memang
hukum sudah menjadi barang yang bersifat konsumtif. Ada fulus urusan mulus.
Entah
cerita awalnya bagaimana sampai uang sedemikain rupa menjelma menjadi sebagai
sosok yang begitu menawan, selalu mempesona bila dipandang, membuat pikiran
menjadi gila karenanya, tidak jarang
manusia nekad sikut menyikut, jegal menjegal, bahkan saling membunuh demi selembar kertas ini.
Terlepas
dari wilayah kerajaan uang, ternyata Tuhan tidak mau menyembunyikan diri berlama
lama, pohon jambu yang ditanam mendiang Abah saya tepatnya berada didepan rumah
ternyata disitu Tuhan menampakan dirinNya, sampai detik ini juga Ia masih terus bekerja bersama para malaikatNya untuk memproses bunga menjadi buah yang bisa bermanfaat untuk
sekeluarga, terkadang jika memang buahnya lebat bisa satu kampung merasakan
hasil ciptaan Tuhan ini.
Memang
hanya sekedar buah jambu, bukan permata atau berlian yang memiliki nilai jual
yang tinggi, terlihat sangat tidak berharga bahkan terkadang tercecer begitu
saja di halaman rumah, tidak ada satupun yang sudi sekedar mengambil dan
memandanginya.
Mungkin
sifat ketidak berhargaan itu yang membuat kita berpaling, apalah sebiji buah
jambu, sedangkan yang kita butuhkan adalah sebongkah berlian, uang miliyaran untuk
memenuhi segala macam bentuk syahwat wadag yang masih terus merengek
rengek untuk dipenuhi segala keinginan yang jauh lebih banyak di bandingkan
sekedar kebutuhan..
Satu
bulan yang lalu buah jambu selesai saya panen, tidak ada satu pun yang tersisa
dan tampak bergelantungan di pohonnya,
karena memang jumlahnya terlalu fantastik jadi saya bagi bagikan ke para
tetangga, rasanya kalau saya disuruh memakan semua jambu tersebut rasanya tidak
akan sanggup lambung ini menampung semuanya, terlalu banyak Tuhan memberikan
jambu ini kepada saya.
Namun
hari ini saya lihat ternyata pohonnya sudah mulai berbunga lagi, dari setiap
ranting yang ada, dipenuhi dengan bunga yang siap bertransormasi menjadi buah
lagi, saya tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi, padahal selama ini
saya sama sekali tidak merawat, menjaga, menyirami, bahkan tidak membuatkan
pagar untuk pohon peninggalan mendiang abah saya ini, tapi pohon itu terus
bekerja siang malam melaksanakan tugasnya, tidak pernah memperdulikan saya
mensukurinya atau tidak menghargainya, ia terus menghidangkan makanan dari langit, karena memang saya tidak mencari tapi
langsung dihidangkan didepan mata saya sendiri tanpa saya yang sibuk bekerja.
Alangkah Rahman RahimNya dan alangkah dungunya saya, ternyata
selama ini Tuhan sedang mencoba menyapa saya dengan kalamNya fabi ‘ayyia ala irobikuma tukadziban?
Ah
rasanya terlalu malu jika saya disapa dengan perkataan yang sedemikian nyelekit,
ketahuan sombongnya saya oleh Tuhan, karena Ia selalu menyiapkan hidangan tapi
saya tidak pernah menyatakan bentuk terimakasih saya kepadaNya. Lebih malunya
lagi ketika saya sedang mengerjakan ritualitas shalat, rukuk, sujud, bahkan
terkadang memohon dilimpahkan rezeki yang banyak, padahal tanpa saya minta
Tuhan siang malam sudah bekerja untuk mengirimkan rezekiNya didepan mata saya,
tanpa perlu bersusah payah bekerja.
Bisa
jadi rasa sukur saya ini sirna karena menilai sebiji jambu tidak bisa membeli
laptop apple, tidak bisa membangun masjid dengan megah seperti masjid kubah
emas, tidak bisa ditukarkan untuk plesiran ke tempat tempat faforit para pelancong,
tidak bisa sebiji jambu saya tukarkan dengan satu tiket traveling ke Mekah,
bahkan terkadang jambu tersebut saya gunakan untuk melempar ayam ayam yang
sedang mencari rezikiNya di halaman rumah, karena memang otak saya berfikirnya
aliran kelompok wadagiyah bin matreliastis.
Tapi seandainya jika yang dihasilkan dari
pohon tersebut adalah emas batangan 24 karat, berlian, daunnya lembaran uang
kertas seratus ribuan, bisa jadi pohon itu akan saya sembah sembah dan saya
berikan sesajen ayam putih dan nasi kuning beserta kembang tujuh rupa, pohon
itu akan berubah seketika menjadi tuhan karena memang pohon tersebut bisa
memenuhi syahwat duniawi saya.
Beruntungnya
pohon itu masih normal, sampai detik ini masih memproduksi jambu, daunnya masih
berwarna hijau tidak kemerah merahan, rantingnya masih kayu tidak berubah emas,
seandainya pohon itu benar benar berubah menjadi emas, dan daunnya menjadi
lembaran uang, mungkin Tuhan akan berkata kepada saya wala takroba hadihi ssyajarota
fatakunanna minadzolimiin.
Jadi
percuma saja kalau pohon itu berubah memproduksi batangan emas, jika setelah
mampu memproduksi Tuhan melarang saya untuk mendekati, apalagi mengambil dan
menikmati hasil yang telah diproduksi pohon tersebut, jika saya nekad kemudian
mendekatinya fatakunanna minadzolimi<>n. Saya akan menjadi Adam masa kini
yang melanggar perintah Tuhan. Kemudian di jidat saya akan terlihat cap Tuhan
yang bertuliskan “ini adalah orang yang dzalim”.
Saya
akan berharap pohon itu akan terus berbuahkan jambu saja, biarkan daun itu tetap
berwana ijo royo royo, supaya saya bisa mendekati, dan berteduh dibawah
daunnya yang rindang, dan mencicipi Maha karya sang pencipta, setidaknya dengan
adanya pohon tersebut saya merasa tidak
dicuekin Tuhan, Ia masih terus mengirimkan makanan dari langit, masih
dipersilahkan mencicipi hasil karyaNya, biarkan Tuhan bekerja sekarepe,
tanpa perlu saya merengek rengek meminta ini dan itu, meminta dijadikan buah
labu menjadi emas, berharap buah jambu mejadi segenggam berlian, bagaimana
mungkin kita akan sanggup mensukuri nikmatNya, sedangkan sebiji jambu saja kita
tidak sudi untuk menyatakan termakasih, apalagi mensukurinya.
0 komentar