Sabtu, 21 Januari 2017

Ngaji Jambu


“Kalau kita tidak kerja mana bisa makan”, kalimat ini sering sekali saya dengar dari kawan kawan saya yang bekerja di perusahaan, seperti si Somad yang bekerja menjadi IT di perusahaan bonafid di daerah cilegon. sebenarnya ia cukup memperhatikan saya dalam hal makan memakan yang memang bermasalah. Ya sudahlah biarkan saja, bukannya kekasih Tuhan saja sering sering ia tidak menemukan makanan dalam tiga hari, jadi kalau memang demikian, hitung hitung merasakan penderitannya kanjeng Nabi saja.
Dinegara ini tidak ada yang bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya, tidak ada yang melindungi diri kita kalau bukan dirikita sendiri, kalau bukan kita sendiri yang mulung lantas siapa dong yang mau memenuhi kebutuhan sehari hari? Mana mungkin Tuhan mengirimkan makanan, kalau kita tidak berusaha mencarinya?
Uang saat ini sudah menjadi tuhan yang dinomer satukan, orientasi utamanya adalah kesuksesan dibidang strata sosial, baik dari pamoritas, jumlah nominal yang ada direkening, aset tidak berjalan dan lain sebagainya, cara orang ber uang dan orang yang kantongnya bolong sangat berbeda sekali karakter berbicarnya, orang yang memliki kantong tebal akan menjadi bak sang raja, orang yang bolong kantongnya bak rakyat jelata, bahkan hukum bisa dijual balikan menjadi sekarepe karena memang hukum sudah menjadi barang yang bersifat konsumtif. Ada fulus urusan mulus.
Entah cerita awalnya bagaimana sampai uang sedemikain rupa menjelma menjadi sebagai sosok yang begitu menawan, selalu mempesona bila dipandang, membuat pikiran menjadi gila karenanya,  tidak jarang manusia nekad sikut menyikut, jegal menjegal, bahkan saling membunuh demi selembar kertas ini.
Terlepas dari wilayah kerajaan uang, ternyata Tuhan tidak mau menyembunyikan diri berlama lama, pohon jambu yang ditanam mendiang Abah saya tepatnya berada didepan rumah ternyata disitu Tuhan menampakan dirinNya, sampai detik ini juga Ia masih terus bekerja bersama para malaikatNya untuk memproses bunga menjadi buah yang bisa bermanfaat untuk sekeluarga, terkadang jika memang buahnya lebat bisa satu kampung merasakan hasil ciptaan Tuhan ini.
Memang hanya sekedar buah jambu, bukan permata atau berlian yang memiliki nilai jual yang tinggi, terlihat sangat tidak berharga bahkan terkadang tercecer begitu saja di halaman rumah, tidak ada satupun yang sudi sekedar mengambil dan memandanginya.
Mungkin sifat ketidak berhargaan itu yang membuat kita berpaling, apalah sebiji buah jambu, sedangkan yang kita butuhkan adalah sebongkah berlian, uang miliyaran untuk memenuhi segala macam bentuk syahwat wadag yang masih terus merengek rengek untuk dipenuhi segala keinginan yang jauh lebih banyak di bandingkan sekedar kebutuhan..
Satu bulan yang lalu buah jambu selesai saya panen, tidak ada satu pun yang tersisa dan tampak bergelantungan di pohonnya,  karena memang jumlahnya terlalu fantastik jadi saya bagi bagikan ke para tetangga, rasanya kalau saya disuruh memakan semua jambu tersebut rasanya tidak akan sanggup lambung ini menampung semuanya, terlalu banyak Tuhan memberikan jambu ini kepada saya.
Namun hari ini saya lihat ternyata pohonnya sudah mulai berbunga lagi, dari setiap ranting yang ada, dipenuhi dengan bunga yang siap bertransormasi menjadi buah lagi, saya tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi, padahal selama ini saya sama sekali tidak merawat, menjaga, menyirami, bahkan tidak membuatkan pagar untuk pohon peninggalan mendiang abah saya ini, tapi pohon itu terus bekerja siang malam melaksanakan tugasnya, tidak pernah memperdulikan saya mensukurinya atau tidak menghargainya, ia terus menghidangkan makanan dari  langit, karena memang saya tidak mencari tapi langsung dihidangkan didepan mata saya sendiri tanpa saya yang sibuk bekerja. Alangkah Rahman RahimNya dan alangkah dungunya saya, ternyata selama ini Tuhan sedang mencoba menyapa saya dengan kalamNya fabi ‘ayyia ala irobikuma tukadziban?
Ah rasanya terlalu malu jika saya disapa dengan perkataan yang sedemikian nyelekit, ketahuan sombongnya saya oleh Tuhan, karena Ia selalu menyiapkan hidangan tapi saya tidak pernah menyatakan bentuk terimakasih saya kepadaNya. Lebih malunya lagi ketika saya sedang mengerjakan ritualitas shalat, rukuk, sujud, bahkan terkadang memohon dilimpahkan rezeki yang banyak, padahal tanpa saya minta Tuhan siang malam sudah bekerja untuk mengirimkan rezekiNya didepan mata saya, tanpa perlu bersusah payah bekerja.
Bisa jadi rasa sukur saya ini sirna karena menilai sebiji jambu tidak bisa membeli laptop apple, tidak bisa membangun masjid dengan megah seperti masjid kubah emas, tidak bisa ditukarkan untuk plesiran ke tempat tempat faforit para pelancong, tidak bisa sebiji jambu saya tukarkan dengan satu tiket traveling ke Mekah, bahkan terkadang jambu tersebut saya gunakan untuk melempar ayam ayam yang sedang mencari rezikiNya di halaman rumah, karena memang otak saya berfikirnya aliran kelompok wadagiyah bin matreliastis.
 Tapi seandainya jika yang dihasilkan dari pohon tersebut adalah emas batangan 24 karat, berlian, daunnya lembaran uang kertas seratus ribuan, bisa jadi pohon itu akan saya sembah sembah dan saya berikan sesajen ayam putih dan nasi kuning beserta kembang tujuh rupa, pohon itu akan berubah seketika menjadi tuhan karena memang pohon tersebut bisa memenuhi syahwat duniawi saya.
Beruntungnya pohon itu masih normal, sampai detik ini masih memproduksi jambu, daunnya masih berwarna hijau tidak kemerah merahan, rantingnya masih kayu tidak berubah emas, seandainya pohon itu benar benar berubah menjadi emas, dan daunnya menjadi lembaran uang, mungkin Tuhan akan berkata kepada saya wala takroba hadihi ssyajarota fatakunanna minadzolimiin.
Jadi percuma saja kalau pohon itu berubah memproduksi batangan emas, jika setelah mampu memproduksi Tuhan melarang saya untuk mendekati, apalagi mengambil dan menikmati hasil yang telah diproduksi pohon tersebut, jika saya nekad kemudian mendekatinya fatakunanna minadzolimi<>n. Saya akan menjadi Adam masa kini yang melanggar perintah Tuhan. Kemudian di jidat saya akan terlihat cap Tuhan yang bertuliskan “ini adalah orang yang dzalim”.
Saya akan berharap pohon itu akan terus berbuahkan jambu saja, biarkan daun itu tetap berwana ijo royo royo, supaya saya bisa mendekati, dan berteduh dibawah daunnya yang rindang, dan mencicipi Maha karya sang pencipta, setidaknya dengan adanya  pohon tersebut saya merasa tidak dicuekin Tuhan, Ia masih terus mengirimkan makanan dari langit, masih dipersilahkan mencicipi hasil karyaNya, biarkan Tuhan bekerja sekarepe, tanpa perlu saya merengek rengek meminta ini dan itu, meminta dijadikan buah labu menjadi emas, berharap buah jambu mejadi segenggam berlian, bagaimana mungkin kita akan sanggup mensukuri nikmatNya, sedangkan sebiji jambu saja kita tidak sudi untuk menyatakan termakasih, apalagi mensukurinya.


Load disqus comments

0 komentar